Langsung ke konten utama

Postingan

Surat 3: Teruntuk Rury

Sukanagara, 02 April 2020   Teruntuk: Rury Di tempat Virgoun mengatakan, kamu adalah bukti baiknya Tuhan padaku. Maka, dia benar. Kamu adalah patah hati terbaik yang Tuhan berikan.     Waktu telah berlalu, dan aku menyadarinya. Rasa ini harusnya sirna bersama termin yang terus berjalan. Tapi tidak, perasaan ini masih tersimpan dengan rapi dalam dada. Namamu masih bertahta. Masa mungkin sedikit mengikisnya, karena melupakanmu adalah sesuatu yang sedang aku usahakan, walau terasa menyakitkan. Benar kamu adalah patah hati terbaik, kenangan bersamamu masih tersimpan rapi, terajut dalam ribuan kata yang tak akan terlupa. Entah sajak atau cerita, keduanya tak pernah bosan bercerita tentang aku dan kamu yang tak pernah menjadi kita. Kerinduan akanmu mungkin sudah tertutup debu, karena tak pernah kamu buka. Aku tidak memaksa kamu untuk mengerti rasa ini, karena aku tahu, hanya aku yang mendamba kisah ini berakhir bahagia, tapi kamu tidak. Aku tahu seberapa b...
Postingan terbaru

Keresahan: Tentang Kita, Remaja yang Dihadapkan Pada Dua Pilihan

Banyak yang tak kumengerti tentang hidup termasuk cinta dan benci, suka dan duka. Rasa sangat sulit untuk dapat dipahami oleh orang sepertiku. Kadang aku bertanya, mengapa aku tidak bisa seperti mereka yang mengerti? Kadang aku menginginkannya. Tapi kemudian sadar ada konsekuensi besar di balik itu semua. A ku harus memilih mengorbankan masa muda dan mengadaikan masa depan demi sebuah rasa semu. Ataukah mengorbankan masa muda untuk belajar dan mengejar masa depan yang semu. Keduanya sama-sama tak pasti, namun setidaknya pilihan kedua tidak akan membuat terluka dan menyesal.  Jika aku berjuang untuk pilihan pertama, aku tak yakin bisa sesantai ini. Menikmati masa akhir remaja tanpa tuntutan materi, menjadi maba kupu-kupu dan kadang bekerja sampingan sebagai penulis. Sampai di sini aku sadar, Tuhan tidak memberiku langsung apa yang aku inginkan, tapi melalui proses. Mungkin saja nanti aku bisa menjadi sejarawan sekaligus sastrawan atau penulis buku-buku sejarah. Yang perlu aku lakuka...

Coretan 2

Sukanagara, 26 Maret 2020 Suara basah malam yang tak jugaa membawa gundah. Teruntuk: semesta yang kuat Dapatkah aku menjadi pemenangnya?             Aku masih sibuk bertanya, sampai kapankah diri ini akan terus melangkah? Sedang hari esok adalah misteri. Lelah rasanya dalam dilema yang terus mengusik. Satu waktu aku hanya ingin berhenti. Tapi, beberapa saat kemudian aku akan kembali melangkah dengan tegap, atau kadang pincang. Ada satu sudut hati yang tak mau berhenti terus mengatakan untuk terus melangkah. Sekarang aku di sini, mulai mempertanyakan kembali. Tapi jauh di sana, di dasar hati aku ingin semesta menyemangati dan berbaik hati memberi keringanan.             Aku tahu, satu persatu mimpi mulai bisa kuraih, tapi aku merasa hampa. Kadang aku hanya ingin menangis. Kadang rasanya begitu menyesakan, dan… melelahkan. Seseorang mengatakan padaku untuk berhe...

Coretan 1

Aku tahu setiap orang tua selalu khawatir tentang anak mereka, dan berharap bisa memantaunya setiap saat. Tapi, pernahkah mereka berpikir justru hal itu membuatnya anaknya terkekang dan menginginkan kebebasan? Aku tahu sebagai seorang anak sudah seharusnya menuruti keinginan orang tuanya dan berbakti kepada mereka. Tapi, bisakah aku lebih egois lagi? Aku hanya ingin sedikit kebebasan di duniaku yang kecil? Aku hanya meminta sedikit saja, bisakah kalian mengabulkannya? Aku memang bukan anak yang berbakti, aku tahu itu. Ketika aku sendirian, merenung apa yang selama ini terjadi dan telah aku lalui, aku menyadari ini seperti burung dalam sangkar, kalian seolah membuatku memiliki sayap untuk terbang tinggi, tapi kenyataannya itu tak akan pernah terjadi karena kalian telah menciptakan pembatas tak kasat mata. Aku selalu menangis ketika mengingatnya. Tolong jangan selalu mengekangku dengan ke egoisan kalian, karena aku yakin aku bisa berdiri di atas kedua kaki ku sendiri untuk mengggaoai...

Puisi 2 (Nastapa Berselimut Remang)

                                                    Nastapa Berselimut Remang (Dewi) Termin berjalan terus tanpa pernah reda Jari masih terus menggores dengan lihai frasa, bercerita tentang kita Mega dalam bumantara bergerak dalam rima senja Biru laut cakrawala terganti jingga yang bercerita Sesak rasa menggerogoti jiwa mengigat kisah yang berakhir paksa Gugur daun-daun berpadu dalam lara Secangkir teh tersaji di atas meja berhias bunga kenanga Tenang terasa menyiksa, bayangmu masih bertahta Malam menjeritkan pedihnya prosa Candra anindita sampaikan padanya tentang nastapa berselimut remang yang masih terjaga

puisi 1 (Belenggu Rindu)

Belenggu Rindu (Dewi, Nadia R. T, Hanum F) Ayah, Aku tahu lelah ragamu mengejar asa Aku tahu lelah jiwamu berlari melepas rindu Yang melebur Bersama semesta Ayah, Waktu menguras dentang jarum jam Tiga belas purnama kita tak bersua dan tertawa Bersama Ayah, Aku benci jarak pemisah Aku hanya ingin melihat parasmu Ayah, Maaf ku tak bisa membendung tangis ini Maafkan aku, si anak pembangkang ini Ayah, Rindu berderai mengikis kalbu Bukan lagi senja yang ku tunggu tercipta Melainkan langkah kakimu yang menggema Dan alunan suaramu menguntai namaku Ayah, Aku hanya merindukan mu Rindu yang tersimpan bersama malam Tanpa pernah terujar lewat sebuah kata. Semesta, janga Ayah dalam usahanya 😊