Langsung ke konten utama

puisi 1 (Belenggu Rindu)


Belenggu Rindu
(Dewi, Nadia R. T, Hanum F)

Ayah,
Aku tahu lelah ragamu mengejar asa
Aku tahu lelah jiwamu berlari melepas rindu
Yang melebur Bersama semesta
Ayah,
Waktu menguras dentang jarum jam
Tiga belas purnama kita tak bersua dan tertawa Bersama
Ayah,
Aku benci jarak pemisah
Aku hanya ingin melihat parasmu
Ayah,
Maaf ku tak bisa membendung tangis ini
Maafkan aku, si anak pembangkang ini
Ayah,
Rindu berderai mengikis kalbu
Bukan lagi senja yang ku tunggu tercipta
Melainkan langkah kakimu yang menggema
Dan alunan suaramu menguntai namaku
Ayah,
Aku hanya merindukan mu
Rindu yang tersimpan bersama malam
Tanpa pernah terujar lewat sebuah kata.


Semesta, janga Ayah dalam usahanya😊

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Coretan 1

Aku tahu setiap orang tua selalu khawatir tentang anak mereka, dan berharap bisa memantaunya setiap saat. Tapi, pernahkah mereka berpikir justru hal itu membuatnya anaknya terkekang dan menginginkan kebebasan? Aku tahu sebagai seorang anak sudah seharusnya menuruti keinginan orang tuanya dan berbakti kepada mereka. Tapi, bisakah aku lebih egois lagi? Aku hanya ingin sedikit kebebasan di duniaku yang kecil? Aku hanya meminta sedikit saja, bisakah kalian mengabulkannya? Aku memang bukan anak yang berbakti, aku tahu itu. Ketika aku sendirian, merenung apa yang selama ini terjadi dan telah aku lalui, aku menyadari ini seperti burung dalam sangkar, kalian seolah membuatku memiliki sayap untuk terbang tinggi, tapi kenyataannya itu tak akan pernah terjadi karena kalian telah menciptakan pembatas tak kasat mata. Aku selalu menangis ketika mengingatnya. Tolong jangan selalu mengekangku dengan ke egoisan kalian, karena aku yakin aku bisa berdiri di atas kedua kaki ku sendiri untuk mengggaoai...

Keresahan: Tentang Kita, Remaja yang Dihadapkan Pada Dua Pilihan

Banyak yang tak kumengerti tentang hidup termasuk cinta dan benci, suka dan duka. Rasa sangat sulit untuk dapat dipahami oleh orang sepertiku. Kadang aku bertanya, mengapa aku tidak bisa seperti mereka yang mengerti? Kadang aku menginginkannya. Tapi kemudian sadar ada konsekuensi besar di balik itu semua. A ku harus memilih mengorbankan masa muda dan mengadaikan masa depan demi sebuah rasa semu. Ataukah mengorbankan masa muda untuk belajar dan mengejar masa depan yang semu. Keduanya sama-sama tak pasti, namun setidaknya pilihan kedua tidak akan membuat terluka dan menyesal.  Jika aku berjuang untuk pilihan pertama, aku tak yakin bisa sesantai ini. Menikmati masa akhir remaja tanpa tuntutan materi, menjadi maba kupu-kupu dan kadang bekerja sampingan sebagai penulis. Sampai di sini aku sadar, Tuhan tidak memberiku langsung apa yang aku inginkan, tapi melalui proses. Mungkin saja nanti aku bisa menjadi sejarawan sekaligus sastrawan atau penulis buku-buku sejarah. Yang perlu aku lakuka...

Coretan 2

Sukanagara, 26 Maret 2020 Suara basah malam yang tak jugaa membawa gundah. Teruntuk: semesta yang kuat Dapatkah aku menjadi pemenangnya?             Aku masih sibuk bertanya, sampai kapankah diri ini akan terus melangkah? Sedang hari esok adalah misteri. Lelah rasanya dalam dilema yang terus mengusik. Satu waktu aku hanya ingin berhenti. Tapi, beberapa saat kemudian aku akan kembali melangkah dengan tegap, atau kadang pincang. Ada satu sudut hati yang tak mau berhenti terus mengatakan untuk terus melangkah. Sekarang aku di sini, mulai mempertanyakan kembali. Tapi jauh di sana, di dasar hati aku ingin semesta menyemangati dan berbaik hati memberi keringanan.             Aku tahu, satu persatu mimpi mulai bisa kuraih, tapi aku merasa hampa. Kadang aku hanya ingin menangis. Kadang rasanya begitu menyesakan, dan… melelahkan. Seseorang mengatakan padaku untuk berhe...